Oleh : DR Hasan Asy’ari Ulama’i
SERINGKALI kita mendengar seruan untuk beragama yang utuh. Tetapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan beragama yang utuh itu.
Allah SWT berfirman, sebagaimana tertuang dalam Surat Al Baqarah ayat 208 : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.
Dalam ayat itu jelas disebutkan seruhan wahai orang yang beriman, bergabunglah masuklah terhadap tuntunan Islam itu secara utuh.
Lantas, secara utuh itu yang seperti apa? Sebenarnya ayat berikutnya memperjelas dan mempertegas : Jangan ikut langkah setan. Itu artinya, beragama yang utuh itu beragama yang dituntunkan Allah SWT.
BACA JUGA : Pesan Transformatif Ramadan Era Corona
Beragama secara utuh itu sebagaimana tertuang dalam Alquran maupun sunnah-sunnah Nabi Muhammad SAW. Nah, saya melihat istilah utuh itu tak lain utuh lahir dan batin. Itu lah yang namanya utuh.
Ada orang yang yang secara lahiriyahnya iman, namun secara batinnya tidak. Yang demikian itu, Al Quran sering menyebutnya munafik. Kadang-kadang juga menggunakan istilah kufur.
Gambaran orang-orang kafir itu juga, mereka kalau pun beriman hanya di bibir saja. Tetapi tidak di hati. Yang kedua, utuh itu ya beragama tidak semata hanya memikirkan akhirat saja. Urusan dunia juga harus dipikirkan.
Di dalam Al Quran itu kan juga mengajarkan keseimbangan dunia, tetapi akhirat juga dimunculkan.
Dalam surat Al Qasas ayat 77 misalnya, Allah SWT berfirman ;
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Carilah Poin Akhirat dan Duniamu
Cari lah apa saja yang akan menjadi poin akhiratmu, tetapi poin duniamu jangan dilupakan. Itu artinya orang beragama itu, tidak semata-mata hanya memikirkan akhirat, tetapi juga memikirkan persoalan dunia.
Ada orang yang berpandangan “pokoknya tidak usah dipikir itu nasib. Nasib itu ada di tangan Allah. Jika pun sakit, ya sakit. Mati ya mati”
Yang demikian itu artinya dia berpikir sepihak. Seharusnya pola pikir beragamanya secara utuh. Di ayat lain, keutuhan digambarkan dengan seluruh aspek yang ada di dalam Al Quran.
Tuntunan ibadah di dalam Alquran sebenarnya lebih sedikit, dibanding tuntunan sosial. Banyak pengalaman umat terdahulu, yang mencoba memilah-milah yang diimani hanya sebagian. Sebagain yang lain tidak diimani.
Kalau ada model orang-orang yang mengimani Al Quran sebagian, sama saja kembali ke orang-orang jahiliyah dulu yang telah ditegur Allah.
Al Baqarah 177 sampa-sampai Allah menggambarkan secara “sinis”.
Jangan sampai beragama itu tidak utuh. Seolah2 ada pemiliahan keimanan, aqidah ritual, bermualah sosial kemasyarakat seolah berdiri sendiri. Orang cenderung sibuk dengan formalitas ritual.
Orang-orang terjebak dalam ritual formalitas. Perlu seimbang, akidah lurus dan aksi sosial yang kongkrit. Tidak hanya puya keyakinan tapi juga aksi sosial mau berbagai dengan orang sekitar.
Diikuti lagi ada ritual yang harus dilakukan menegakkan shoalat menunaikan zakat, dan yang terakhir, memiliki kepribadian yang baik. (*)
Tulisan ini disarikan dari Pengajian Ramadhan Daring yang digelar oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Kudus .
.