KUDUS, suaramuria.com – Ketua Lakpesdam PBNU Ulil Abshar Abdalla mengemukakan banyak persoalan internasional saat ini kerap bersinggungan dengan agama. Kondisi itu perlu dikaji sehingga agama justru akan menjadi jalan keluar, bukan sumber masalah yang terjadi.
Hal itu diungkapkan Ulil pada acara Halaqah Fikih Peradaban mengkaji “Fikih Siyasah dan Masalah Kaum Minoritas” di Pondok Tahfidh Yanbu’ul Qur’an (PTYQ) Kudus, Minggu (13/11)
Ia memaparkan, fikih peradaban yang digagas oleh ketua PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mendorong para kiai terlibat perbincangan problematika Internasional.
BACA JUGA : KHR Asnawi Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional
“Selain halaqah ini, PBNU juga menggagas R-20 (yang baru selesai digelar belum lama ini, red). Sebuah forum diskusi antaragama yang diadakan dengan misi agar agama dapat menjadi solusi atas problematika dunia,” katanya.
Hadir pada halaqah tersebut Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari dan Wakil Ketua Lembaga Bahsul Masail (LBM) PBNU KH Najib Bukhori. Halaqah dipandu Rektor IAIN Kudus Abdurrahman Kasdi.
Halaqah dihadiri para kiai dan sejumlah tokoh antara lain KH Mc Ulinnuha Arwani, KH M Ulil Albab Arwani, KH Em Nadjib Hasan, KH A Badawi Basyir, KH A Ainun Na’im, KH Asyrofi Masyito, KH Nur Khamim, KH Ulinnuha, KH Amin Yasin, dan KH Aslim Akmal, dan sejumla tokoh lainnya.
Dalam paparannya, Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari mengemukakan relasi Nahdlatul Ulama (NU) dengan Negara, yang perlu dicatat adalah perannya yang mengokohkan status (Indonesia, red) sebagai Negara Bangsa (Nation State).
“Indonesia (itu) bukan negara sekuler ekstrem, sebab spirit agama senantiasa melekat pada Negara Indonesia. Bahkan dalam teks-teks kebangsaan, pengadilan, pelantikan di Indonesia tidak pernah terlepas dengan narasi keagamaan, seperti ketuhanan; demi Tuhan, dalam keadilan Tuhan, dan lainnya,” tegasnya.
Sudut pandang
Dia mengemukakan, jika mengacu pada sudut pandang “mayoritas dan minoritas” dalam sistem pemilihan di Indonesia, pada dasarnya masih belum jelas. “Sistem pemilihan di Indonesia mengacu pada sistem yang proporsional. Dengan demikian, tidak jelas mana yang minoritas dan mana yang mayoritas,” paparnya.
Dan menurutnya, penting juga untuk dikemukakan terkait sistem pemilihan di Indonesia, antara lain soal hak pilih perempuan, penyandang disabilitas dan Orang dalam Gangguan Jiwa (ODGJ).
“Indonesia secara demokrasi lebih maju dibanding Amerika dari sisi memberikan hak pilih perempuan. Amerika memberikan hak pilih terhadap perempuan baru berlangsung tahun 1970-an, sedangkan Indonesia sudah lebih dulu,” tuturnya.
Selain itu, lanjutnya, pada mulanya ODGJ dan disabilitas mental tidak memiliki hak pilih. Kemudian pada 2019, Undang-undang (UU) menghapus ketentuan tersebut.
“Kuantitas bukan acuan dalam menentukan minoritas – mayoritas. Secara ekonomi, misalnya, meskipun dipegang oleh segilintir orang yang secara kuantitas sedikit, namun secara pengaruh begitu besar,” ujarnya. (srm)